TEKNIK PENGAMBILAN FOSIL DI LAPANGAN


A.    TEKNIK PENGAMBILAN FOSIL  DI LAPANGAN
            Sebelum melakukan pengambilan contoh batuan di lapangan, akan lebih baik apabila seorang geologist terlebih dahulu mempelajari peta geologi daerah yang bersangkutan. Berpedoman pada peta geologi tersebut, seorang geologi dapat merencanakan pengambilan contoh batuan secara sistematis sesuai dengan maksud dan tujuan analisis paleontology. Pengambilan contoh batuan akan lebih sempurna apabila dilakukan bersamaan dengan pembuatan statigrafi terukur. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila di lapangan didapatkan singkapan batuan yang lebih baik akan menunjukan stratifikasi.
            Litologi penyusun stratigrafi jrang yang terdiri dari satu jenis batuan, kebanyakan merupakan perselag-selingan antar berbagai jenis litologi. Mempertimbangkan konsep terdapatnya fosil yang baik, batuan yang dipilih adalah jenis batuan sedimen berbutir halus, antara lain jenis batu lempung, napal, batugamping jenis kalsilutit. Pada jenis batuan tufa halus sering juga di dapatkan fosil, tetapi jumlah fosil pada umumnya relatif sedikit. Hal ini disebabkan batuan tufa halus  porus sehingga mudah melalukan air, ada air yang ada dalam batuan bersifat asam Akibatnya fosil yang bersifat karbonattan akan larut.
            Secara teori pengambilan contoh batuan untuk analisis paleontiligy dilakukan pada tiaplapisan batuan sedimen. Apabila hal ini dilakukan, paleontologis akan berhadapan dengan berbagai masalah antara lain,
1.      Bagaimana kalau table lapisan sangat tipis, atau
2.      Bagaimana apabila table setiap lapisan perlapisan cukup besar dan
3.      Bagaimana pula apabila table perlapisan batuannya sagat besar, dan tersusun oleh satu jenis litologi.
Masalah serupa akan dihadapi apabila contoh batuan diambil dengan cara coring pada pemboran dangkal atau pengambilan contoh batuan dengan coring pada pemboran eksplorasi atau dari cutting pemboran eksplorasi.
            Dalam usaha menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas dengan mempertimbangkan bahwa stang pemboran yang paling pendek adalah 10 feet, maka disarankan dan usahakan interval pengambilan 10 feet. Ini boleh kurang atau lebih tergantung dari keberdaan lapisan batuan yang ada di lapangan dan diperkirakan mengandung fosil.  (10 feet=3,04 meter).
            Hindari pengambilan contoh batuan untuk keperluan analisis paleontology dari jenis batuan sedimen berbutir sedang hingga kasar, misalnya batupasir, konglomerat ataupun breksi. Untuk memudahkan dalam melakukan proses laboratorium yaitu memisahkan fosil dari batuan, ambil contoh batuan yang sudah lapuk tetapi masih insitu.
            Apabila di daerah yang akan diteliti tidak diperoleh singkapan yang baik, atau tertutup lapisan alivial, ambil contoh batuan secara statigrafis di daerah cress (alur-alur erosi). Apa bila hal ini tidak dapat dilakukan dengan coring mempergunakan alat bor dangkal.
            Kadangkala, untuk memperoleh contoh batua seorang paleontologist dapat memanfaatkan contoh batuan dalam bentuk cutting pemboran. Cutting pemboran pada umumnya di tamping pada interval 1 meter. Dalam hal yang demikian, paleontologist bebas memilih cutiing yang diperlukan dengan memperhatikan interval mendekati 10 feet dan kemugkinan mendapatkan fosil dari cutiing tersebut.
            Pengambilan contoh batuan untuk analisis paleontology dengan melakukan coring dan memanfaatkan cutiing pemboran tidak dapat dilakukan untuk fosil makro. Hal ini dikarenakan fosil makro telah rusak pada saat pemboran . Akibatnya, fosil makro tidak memenuhi syarat untuk dilakukan identifikasi. Pengambilan fosil Makro dilakukan ditempat di mana fosil tersebut didapatkan, dan tidak dapat dilakukan secara sistemtik seperti halnya pengambilan contoh batuan untuk memanfaatkan fosil mikro dalam analisis paleontology.
            Contoh batuan yang telah dikumpulkan dan akan dimanfaatkan untuk analisis paleontology wajib diberi nomor urut dank ode lokasi serta kedalaman ( untuk contoh batuan hasil pemboran ) atau ketinggian lokasi dan diplotkan pada peta geologi/peta eksplorasi yang dipakai. Dengan cara demikian seorang geologist dapat memyusun lithostatigrafi daerah penelitian. Apabila contoh batuan yang diinginkan sudah terkumpul, timbul pertanyaan bagai mana cara memisahkan fosil dari batuan (thretment) contoh batuan selanjutnya.
B.     TEKNIK MEMISAHKAN FOSIL DARI BATUAN
            Pemisahan fosil dari batuan sangat tergantung pada jenis fosil yang akan dipisahkan. Pemisaha pada jenis fosil mikro berbedadengan pada jenis makro, disamping itu juga tergantung pada tujuan pemanfaatan fosil tersebut.
            Untuk mengekstrak/melepaskan fosil mikro dari batuan dapat di tempuh dengan beberapa cara antara lain:
1.      Contoh batuan dengan volum tertentu direndam dalam air beberapa jam (dalam keadaan normal selama 24 jam) hingga batuan menjadi lunak. Jaga sesekali menghaluskan contoh batuan dengan cara dipukul. Apabila hal ini dilakukan sebagian fosil yang ada akan rusak
2.      Remas dengan tangan batuan yang sudah lunak tersebut didalam air hingga halus
3.      Saring debga sieve (saringan) bertingkat dari 150-200-250 mesh, dan bersikan kotoran-kotoran yang masih menempel pada fosil dengan kuas. Jagan sekali-kali menekan kumpulan fosil dengann tangan agar hancur pada alas sieve. Apabila hal ini dilakukan akan merusak dinding test fosil, dan akan mengakibatkan sieve rusak. Fosil dann mineral dengan ukuran lebih dari 150 mesh akann tertampung , pada sieve ukuran 200 mesh, sisanya akan lolos  dan akan tertampung pada sieve ukran 200 mesh, sisanya akan lolos dan tertampung pada sieve ukuran 250 mesh. Ukuran fosil dan larutan mineral yang sudah menjadi lumpur, akan tertampung pada dasar sieve, semuanya disebut sebagai washed residu akhir, dan diperkenankan untuk dibuang.
4.      Cucu masing-masing washed residu yang tertampung pada masing-masing sieve dengan air hingga bersih. Pndahkan washed residu pada cawan yang terbuat dari porselin atau aluminium dan keringkan.
5.      Washed residu yang sudah kering, dipindahkan dan disimpan pada kantong. Tuliskan identitas washed residu dan ukuran mesh nya. Washed residu ini siap untuk diproses lebih lanjut.
C.    TEKNIK IDENTIFIKASI FOSIL
            Syatar utama, seorang paleontologist harus cermat dan teliti serta bekerja dengan suatu sistematika baku, tidak boleh tergesa-gesa.
Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan
1.      Konsentrasikan pekerjaan hingga selesai. Jangan sekali-kali memutuskan menghentikan untuk sementara beberapa waktu. Apabila hal ini dilakukan, kemungkinan daya ingat untuk melihat type specmen akan hilang atau lupa, sehingga terpaksa harus melakukan identifikasi ulang.
2.      Persiapkan alat-alat laboratorium seperti mikroskop, lloupe, trai, jarum preparat, kuas kecil ukuran 00, perekat, slide/plate tempat fosil, cairan berwarna. Untuk laboratorium yang lengkap disediakan juga scaning Electrone micropraph (SEM).
3.      Siapakan type reference atau pustaka yang memuat gambar gambar fosil yang dipergunakan sebagai figure type.
4.      Tempatkan masing-asing type fosil pada slide/plate yang telah disediakan. Hitung jumlah individu dari masing-masing spesies dari masing-masing washed residu yang harus diperiksa.
5.      Buatlah table jenis dan kelimpahan spesies sesuai dengan kemunculan awal dari fosil. Tabel yang telah disusun dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan penelitian paleontology yang telah ditentukan sebelumnya. Dari table-tabel yang disusun secara sistematis, seorang paleontologist mampu memanfaatkan table tersebut sesuai dengan data paleontology yang telah tersedia. Perlu diingat, dalam melakukan interpretasi geologi, magkin banyak data yang tersedia, magkin mendekati ketepatan dalam melakukan interpretasi.  
Sumber: Prof.Ir.Sukandarrumidi,M.Sc.,Ph.D.2008.Aplikasi Paleontologi.yogyakarta.Gajah Mada University Press.


Comments

Popular posts from this blog

BATUAN SEDIMEN KARBONAT